Minggu, 12 Juni 2011

kenapa maksiat terulang lagi?

Secara garis besarnya Al-Qur'anul Karim telah membagi keadaan manusia menjadi tiga tingkatan yaitu tingkatan alami,akhlaki dan rohani. Untuk ketiga tingkatan tersebut masing-masingnya mempunyai sumber yang berbeda bagaikan mata air yang
daripadanya memancar keadaan-keadaan tersebut secara terpisah.

Tingkatan yang pertama dari manusia itu adalah TABI'I (alami) yang bersumber dari jiwa yang disebut NAFSU AMMARAH sebagaimana yang dijelaskan Al-Qur'an :
"Innan nafsala ammaratun bissuu i", Sesungguhnya nafsu ammarah itu menyuruh kepada kejahatan (12;53). Adalah merupakan ciri khas dari nafsu ammarah itu untuk membawa manusia kearah kejahatan yang bertentangan dan bertolak belakang dengan keadaan akhlaki manusia itu. Nafsu ammarah juga menginginkan manusia itu berjalan pada jalan yang tidak baik dan jahat.

Melangkahnya manusia kepada pelanggaran dan kejahatan adalah suatu keadaan alami yang bersimaharajalela atas dirinya sebelum ia mencapai keadaan akhlak dan rohani, dimana manusia itu bertindak dibawah naungan pertimbangan akal dan makrifat Ilahi. Seperti halnya hewan-hewan berkaki empat dalam segala kebiasaannya, makan minumnya, tidur bangunnya, kawin cerainya, dan segala kebiasaan lainnya, manusia itu cenderung mengikuti dorongan alaminya, dan inilah yang disebut dengan "thabi'i" (pembawaan alam). Dan manakala manusia itu tunduk kepada akal dan makrifat Ilahi serta mempertimbangkan perasaannya maka keadaan demikian tidak lagi disebut keadaan alami. Dan pada keadaan ini manusia telah berada ditingkatan akhlak seperti yang akan dijelaskan berikut ini.

Adapun keadaan akhlak yang merupakan tingkatan kedua dari martabat manusia berasal dari sumber yang disebut NAFSU LAWWAMAH sebagaimana diisyaratkan Al-Qur'an sbb: "Walaa uqsimu bin nafsil lawwamah". Aku bersumpah dengan nafsu (jiwa) yang amat menyesali(dirinya sendiri) (75;2). Sesampainya manusia pada tingkatan akhlak, manusia itu akan memperoleh kebebasan dari keadaan alami yang berumber dari NAFSU AMMARAH tadi. Allah Ta'ala bersumpah dengan nafsu lawwamah dalam ayat ini adalah untuk memberikan penghormatan kepada manusia.
Jadi dengan peningkatan dari "nafsu ammarah" kepada "nafsu lawwamah" yang jelas itu adalah merupakan suatu "kemajuan", manusia dari tingkatan hewani kepada insani sehingga ia layak menerima kehormatan dari sisi Allah.


Disebutnya "nafsu lawwamah", karena ditingkatan ini keadaan jiwa manusiabsenantiasa mencela setiap kejahatan dan tidak menyenangi tingkah laku yang sewenang-wenang dalam memenuhi keinginan-keinginan alaminya laksana hewan-hewan berkaki empat. Nafsu lawwamah menghendaki manusia untuk menghayati keadaan-keadaan yang baik serta budi pekerti yang luhur dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya. Janganlah hendaknya manusia itu melakukan pelanggaran-pelanggaran dan segala perasaan-perasaan serta hasrat-hasrat alaminya diberi penyaluran yang sesuai dengan pertimbangan akal. Jadi, karena jiwa itu menyesali tindakannya yang buruk maka ia dinamakan "nafsu lawwamah",yaitu nafsu yang sangat menyesali.

Kendatipun "nafsu lawwamah" itu tidak menyukai keadaan "alami" yang cenderung kepada kejahatan,bahkan sering menyesali dirinya sendiri yang dalam melaksanakan kebaikan-kebaikan yang "akhlaki" belum menguasai diri sepenuhnya.

Kadang-kadang perasaan alaminya mengalahkannya, kemudian ia tergelincir dan jatuh. Ringkasnya martabat akhlaki dicapai oleh jiwa itu ketika telah terkumpul dalam dirinya "budi pekerti luhur" serta jera dari berbuat kedurhakaan, akan tetapi belum lagi menguasai diri sepenuhnya.

Lebih lanjut keadaan ketiga yang disebut keadaan "rohani", dimana Al-Qur'an menyebut sumber keadaan ini dengan "NAFSU MUTHMAINNAH" sebagaimana difirmankan-Nya dalam ayat berikut:"Yaa ayya tuhannafsul muthmainnah. Irr ji'ii ilaa Rabbiki radhiyatan mardhiyah. Fad khulii fi'ibaadi. Wad khuli jannatii". Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah kedalam jama'ah hamba-hamba-Ku. Dan masuklah kedalam syurga-Ku. (89:27-30)

Inilah tingkatan terakhir dari perkembangan jiwa manusia,dimana manusia itu bebas dari segala kelemahan. Dalam keadaan ini jiwa manusia itu dipenuhi oleh kekuatan-kekuatan rohani seakan-akan tercangkok dengan wujud Allah Ta'ala sehingga jiwa manusia itu merasakan tidak bisa hidup tanpa Dia. Laksana air yang mengalir dari atas kebawah yang karena banyaknya dan tiada sesuatupun yang menghambatnya, maka air itu terjun dengan derasnya, begitu juga jiwa manusia tak henti-hentinya mengalir terus dan menjurus kepada Tuhan. Itulah yang diisyaratkan Allah Ta'ala dalam firmannya: "Hai jiwa yang tenang (yang mendapat ketenangan dari Tuhan). Kembalilah kepada Rabbmu (Tuhanmu) dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.

Ringkasnya didalam hidup ini jugalah dan bukan sesudah mati, manusia itu harus menciptakan perubahan yang gilang gemilang dari keadaan alami, kepada keadaan
akhlaki yang selanjutnya menuju rohani. Didalam dunia ini juga bukan ditempat
lain manusia menemui kehidupan syurga yakni ketentraman. " Kembalilah kepada Rabbmu (yakni yang memeliharamu)", dimana ia mendapat pemeliharaan dari Tuhan.
Kecintaan Tuhan ia rasakan dalam keadaan ini dan merupakan gizi makanan baginya.
"Sesungguhnya beruntunglah (meraih kemenangan) orang yang mensucikan jiwa itu
dan sesungguhnya merugilah (menderita kekalahan) orang yang mengotorinya".
(91;9-10)


Akhirnya kembali kepada diri kita sendiri.Sebuah pertanyaan yang perlu kita jawab dan renungkan. Sampai ditingkatan mana kita sekarang ini baru berada?
Sudahkah kita berada pada keadaan akhlak atau rohani atau masih saja ditingkat alami? Sudahkah kita tingkatkan perkembangan jiwa kita dari nafsu ammarah ketingkat lawwamah yang selanjutnya menuju muthmainnah?


NB: Uraian ini disarikan dari buku "THE PHILOSOPHY OF THE TEACHINGS OF ISLAM", Penerbit THE LONDON MOSQUE,tahun 1979.

"Allahumma inny as aluka fi'lal khoirot watarkal mungkarat"
Ya Allah hamba mohon jadi senang taat & jadi kuat menjauhi ma'siyat"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar